ABU BAKAR AS-SIDIQ YANG
LEMBUT HATI - SEBUAH BIOGRAFI PERMULAAN SEJARAH ISLAM
SE PENINGGALANYA NABI SAW.
Masa kecil dan terbatasnya berita
Sumber-sumber yang sampai kepada kita mengenai masa kecil Abu Bakar tidak
banyak membantu untuk mengenai pribadinya dalam situasi kehidupan saat itu.
Cerita sekitar masa anak-anak dan remajanya tidak juga memuaskan. Apa
yang diceritakan tentang kedua orangtuanya tidak lebih daripada sekedar
menyebut nama saja. Setelah Abu Bakar menjadi tokoh sebagai Muslim yang
penting, baru nama ayahnya disebut-sebut. Ada pengaruh Abu Bakar dalam
kehidupan ayahnya, namun pengaruh ayahnya dalam kehidupan Abu Bakar
tidak ada. Tetapi yang menjadi perhatian kalangan sejarawan waktu itu
justru yang menyangkut kabilah nya serta kedudukannya di
tengah-tengah masyarakat Qurais. Tak bedanya mereka itu dalam hal ini
dengan sejarah Arab umumnya. Dengan melihat pertalian nya kepada
salah satu kabilah,1 (1 Kabilah atau suku merupakan susunan masyarakat
Arab yang berasal dari satu moyang, lebih kecil dari sya'b dan lebih
besar dari 'imarah, kemudian berturut-turut batn, 'imarah dan
fakhz. — Pnj.) sudah cukup untuk mengetahui watak dan
akhlak mereka. Adakalanya yang demikian ini baik, dan kadang juga
mereka yang percaya pada prinsip keturunan itu berguna untuk menentukan
kecenderungan mereka, kendati yang lain menganggap penilaian demikian
sudah berlebihan, dan ini yang membuat mereka tidak cermat dalam meneliti.
Kabilahnya dan kepemimpinannya
Abu Bakr dari kabilah Taim bin Murrah bin Ka'b. Nasabnya bertemu dengan
Nabi pada Adnan. Setiap kabilah yang tinggal di Mekah punya keistimewaan
tersendiri, yakni ada tidaknya hubungannya dengan sesuatu jabatan
di Ka'bah. Untuk Banu Abd Manaf tugasnya siqayah dan rifadah, untuk Banu
Abdid-Dar, liwa', hijabah dan nadwah, yang sudah berjalan sejak sebelum Hasyim
kakek Nabi lahir. Sedang pimpinan tentara di pegang oleh Banu Makhzum, nenek
moyang Khalid bin Walid, dan Banu Taim bin Murrah menyusun masalah diat
(tebusan darah) dan segala macam ganti rugi. Pada zaman jahiliah masalah
penebusan darah ini di tangan Abu Bakr tatkala posisinya cukup kuat, dan dia
juga yang memegang pimpinan kabilahnya. Oleh karena itu bila ia harus
menanggung sesuatu tebusan dan ia meminta bantuan Kuraisy, mereka pun
percaya dan mau memberikan tebusan itu, yang tak akan dipenuhi sekiranya
orang lain yang memintanya.
Banyak buku yang ditulis orang kemudian
menceritakan adanya pujian ketika menyinggung Banu Taim ini serta
kedudukannya di tengahtengah kabilah-kabilah Arab.
Diceritakan bahwa ketika Munzir bin Ma'as-Sama' menuntut
Imru'ul-Qais bin Hujr al-Kindi, ia mendapat perlindungan Mu'alla at-Taimi
(dari Banu Taim), sehingga dalam hal ini penyair Imru'ul-Qais berkata:
Imru'ul-Qais bin Hujr
Telah didudukkan oleh Banu Taim, "Masabihuz-Zalami"
Karena bait tersebut, Banu Taim dijuluki "Masabihuz-Zalami"
(pelita-pelita di waktu gelap).
Tetapi sumber-sumber yang beraneka ragam yang melukiskan sifatsifat Banu
Taim itu tidak berbeda dengan yang biasa dilukiskan untuk kabilah-kabilah
lain. Juga tidak ada suatu ciri khas yang bisa dibedakan dan dapat digunakan
oleh penulis sejarah atau menunjukkan suatu sifat tertentu kepada kabilah
mana ia dapat digolongkan. Sumber-sumber itu melukiskan Banu Taim dengan
sifat-sifat terpuji: pemberani, pemurah, kesatria, suka menolong dan
melindungi tetangga dan sebagainya yang biasa dipunyai oleh kabilah-kabilah
Arab yang hidup dalam iklim jazirah Arab.
Nama dan julukannya
Para penulis biografi Abu Bakr itu tidak terbatas hanya pada kabilahnya saja
seperti yang sudah saya sebutkan, tetapi mereka memulai juga dengan
menyebut namanya dan nama kedua orangtuanya. Lalu melangkah ke masa
anak-anak, masa muda dan masa remaja, sampai pada apa yang
dikerjakannya. Disebutkan bahwa namanya Abdullah bin Abi Quhafah, dan Abu
Quhafah ini pun nama sebenarnya Usman bin Amir, dan ibunya, Ummul-Khair,
sebenarnya bernama Salma bint Sakhr bin Amir. Disebutkan juga, bahwa
sebelum Islam ia bernama Abdul Ka'bah. Setelah masuk Islam oleh Rasulullah ia
dipanggil Abdullah. Ada juga yang mengatakan bahwa tadinya ia bernama
Atiq, karena dari pihak ibunya tak pernah ada anak laki-laki yang
hidup. Lalu ibunya bernazar jika ia melahirkan anak laki-laki akan diberi
nama Abdul Ka'bah dan akan disedekahkan kepada Ka'bah.
Sesudah Abu Bakr hidup dan menjadi besar, ia diberi nama Atiq,
seolah ia telah dibebaskan dari maut.
Tetapi sumber-sumber itu lebih jauh
menyebutkan bahwa Atiq itu bukan namanya, melainkan suatu julukan karena warna
kulitnya yang putih. Sumber yang lain lagi malah menyebutkan, bahwa
ketika Aisyah putrinya ditanyai: mengapa Abu Bakr diberi nama Atiq
ia menjawab: Rasulullah memandang kepadanya lalu katanya: Ini yang
dibebaskan Allah dari neraka; atau karena suatu hari Abu Bakr
datang bersama sahabat-sahabatnya lalu Rasulullah berkata: Barang
siapa ingin melihat orang yang dibebaskan dari neraka lihatlah ini. Mengenai
gelar Abu Bakr yang dibawanya dalam hidup sehari-hari sumber-sumber itu
tidak menyebutkan alasannya, meskipun penulis-penulis kemudian ada yang
menyimpulkan bahwa dijuluki begitu karena ia orang paling dini (Bakr
berarti dini (A). — Pnj.)dalam Islam dibanding dengan yang lain.
Masa mudanya
Semasa kecil Abu Bakr hidup seperti umumnya anak-anak di Mekah. Lepas
masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja sebagai pedagang pakaian.
Usahanya ini mendapat sukses. Dalam usia muda itu ia kawin dengan Qutailah bint
Abdul Uzza. Dari perkawinan ini lahir Abdullah dan Asma'. Asma' inilah
yang kemudian dijuluki Zatun-Nitaqain. Sesudah dengan Qutailah ia kawin
lagi dengan Umm Rauman bint Amir bin Uwaimir. Dari perkawinan ini
lahir pula Abdur-Rahman dan Aisyah. Kemudian di Medinah ia kawin
dengan Habibah bint Kharijah, setelah itu dengan Asma' bint Umais
yang melahirkan Muhammad. Sementara itu usaha dagangnya berkembang
pesat dan dengan sendirinya ia memperoleh laba yang cukup besar.
Perawakan dan perangainya
Keberhasilannya dalam perdagangan itu mungkin saja disebabkan oleh pribadi dan
wataknya. Berperawakan kurus, putih, dengan sepasang bahu
yang kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai
dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas — begitulah
dilukiskan oleh putrinya, Aisyah Ummulmukminin. Begitu damai perangainya,
sangat lemah lembut dan sikapnya tenang sekali. Tak mudah ia terdorong oleh
hawa nafsu. Dibawa oleh sikapnya yang selalu tenang, pandangannya yang
jernih serta pikiran yang tajam, banyak kepercayaan dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak diikutinya. Aisyah
menyebutkan bahwa ia tak pernah minum minuman keras, di zaman jahiliah
atau Islam, meskipun penduduk Mekah umumnya sudah begitu hanyut ke dalam
khamar dan mabuk-mabukan. Ia seorang ahli genealogi — ahli silsilah — bicaranya
sedap dan pandai bergaul.
Seperti dilukiskan oleh Ibn Hisyam,
penulis kitab Sirah:
"Abu Bakr adalah laki-laki yang akrab di kalangan masyarakatnya,
disukai karena ia serba mudah. Ia dari keluarga Kuraisy yang paling dekat
dan paling banyak mengetahui seluk-beluk kabilah itu, yang baik dan yang
jahat. Ia seorang pedagang dengan perangai yang sudah cukup terkenal.
Karena suatu masalah, pemuka-pemuka masyarakatnya sering datang
menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya atau
mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak."
Kecintaannya pada Mekah dan hubungannya dengan Muhammad
Ia tinggal di Mekah, di kampung yang sama dengan Khadijah bint Khuwailid,
tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa perdagangan dalam
perjalanan musim dingin dan musim panas ke Syam1 dan ke Yaman. Karena
bertempat tinggal di kampung itu, itulah yang membuat hubungannya
dengan Muhammad begitu akrab setelah Muhammad kawin dengan Khadijah dan
kemudian tinggal serumah. Hanya dua tahun beberapa bulan saja Abu Bakr
lebih muda dari Muhammad. Besar sekali kemungkinannya, usia yang
tidak berjauhan itu, persamaan bidang usaha serta ketenangan jiwa
dan perangainya, di samping ketidaksenangannya pada
kebiasaan-kebiasaan Kuraisy — dalam kepercayaan dan adat — mungkin
sekali itulah semua yang berpengaruh dalam persahabatan Muhammad dengan
Abu Bakr. Beberapa sumber berbeda pendapat, sampai berapa jauh eratnya
persahabatan itu sebelum Muhammad menjadi Rasul. Di antara mereka ada
yang menyebutkan bahwa persahabatan itu sudah begitu akrab sejak sebelum
kerasulan, dan bahwa keakraban itu pula yang membuat Abu Bakr cepat-cepat
menerima Islam.
Ada pula yang lain menyebutkan, bahwa
akrabnya hubungan itu baru kemudian dan bahwa keakraban pertama itu tidak lebih
hanya karena bertetangga dan adanya kecenderungan yang sama. Mereka yang
mendukung pendapat ini barangkali karena kecenderungan Muhammad yang suka
menyendiri dan selama bertahun-tahun sebelum kerasulannya menjauhi orang
banyak. Setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul teringat ia pada Abu Bakr dan
kecerdasan otaknya. Lalu diajaknya ia bicara dan diajaknya menganut ajaran
tauhid. Tanpa ragu Abu Bakr pun menerima ajakan itu. Sejak itu terjadilah
hubungan yang lebih akrab antara kedua orang itu. Kemudian keimanan Abu Bakr
makin mendalam dan kepercayaannya kepada Muhammad dan risalahnya pun bertambah
kuat. Seperti dikatakan oleh Aisyah: "Yang kuketahui kedua orangtuaku
sudah memeluk agama ini, dan setiap kali lewat di depan rumah kami,
Rasulullah selalu singgah ke tempat kami, pagi atau sore."
Menerima dakwah tanpa ragu dan sebabnya
Sejak hari pertama Abu Bakr sudah bersama-sama dengan Muhammad melakukan
dakwah demi agama Allah. Keakraban masyarakatnya dengan dia,
kesenangannya bergaul dan mendengarkan pembicaraannya, besar pengaruhnya
terhadap Muslimin yang mula-mula itu dalam masuk Islam itu. Yang
mengikuti jejak Abu Bakr menerima Islam ialah Usman bin Affan, Abdur-Rahman
bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa'd bin Abi Waqqas dan Zubair
bin Awwam. Sesudah mereka yang kemudian menyusul masuk
Islam — atas ajakan Abu Bakr — ialah Abu Ubaidah bin
larrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah.
Adakalanya orang akan merasa heran betapa
Abu Bakr. tidak merasa ragu menerima Islam ketika pertama kali
disampaikan Muhammad kepadanya itu. Dan karena menerimanya tanpa ragu
itu kemudiaYi Rasulullah berkata:
مَا
دَعَوْتُ أَحَدًا اٍلَى الْاٍسْلَامِ اٍلَّا كَانَتْ عِنْدَهُ فِيْهِ كَبْوَة, وَنَظَرَ
وَتَرَدَّدَ, اٍلَّا مَا كَانَ مِنْ أَبِى بَكْرِ بِنْ أَبِى قُحَافَة, مَا عَكَمَ
حِيْنَ ذَكَرْتُهُ لَهُ وَمَا تَرَدَّدَفِيْهِ
"Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak
tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakr
bin Abi Quhafah. la tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika
kusampaikan kepadanya."
Sebenarnya tak perlu heran tatkala
Muhammad menerangkan kepadanya tentang tauhid dan dia diajaknya lalu
menerimanya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi bila Muhammad menceritakan kepadanya
mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya, ia mempercayainya tanpa
ragu. Malah keheranan kita bisa hilang, atau berkurang, bila kita ketahui
bahwa Abu Bakr adalah salah seorang pemikir Mekah yang memandang
penyembahan berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka. Ia sudah
mengenai benar Muhammad — kejujurannya, kelurusan hatinya serta
kejernihan pikirannya. Semua itu tidak memberi peluang dalam hatinya
untuk merasa ragu, apa yang telah diceritakan kepadanya, dilihatnya
dan didengarnya. Apalagi karena apa yang diceritakan Rasulullah
kepadanya itu dilihatnya memang sudah sesuai dengan pikiran yang
sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi, ia sudah mempercayainya dan
menerima semua itu.
Keberaniannya menerima Islam dan menyiarkannya
Tetapi apa yang menghilangkan kekaguman kita tidak mengubah penghargaan kita
atas keberaniannya tampil ke depan umum dalam situasi ketika orang masih
serba menunggu, ragu dan sangat berhati-hati. Keberanian Abu Bakr ini
patut sekali kita hargai, mengingat dia pedagang, yang demi
perdagangannya diperlukan perhitungan guna menjaga hubungan baik dengan
orang lain serta menghindari konfrontasi dengan mereka, yang akibatnya
berarti menentang pandangan dan kepercayaan mereka. Ini dikhawatirkan
kelak akan berpengaruh buruk terhadap hubungan dengan para relasi
itu.
Berapa banyak orang yang memang tidak
percaya pada pandangan itu dan dianggapnya suatu kepalsuan, suatu cakap
kosong yang tak mengandung arti apa-apa, lalu dengan
sembunyi-sembunyi atau berpura-pura berlaku sebaliknya hanya untuk
mencari selamat, mencari keuntungan di balik semua itu, menjaga hubungan
dagangnya dengan mereka. Sikap munafik begini kita jumpai bukan di
kalangan awamnya, tapi di kalangan tertentu dan kalangan terpelajarnya
juga. Bahkan akan kita jumpai di kalangan mereka yang menamakan
diri pemimpin dan katanya hendak membela kebenaran. Kedudukan Abu
Bakr yang sejak semula sudah dikatakan oleh Rasulullah itu, patut sekali
ia mendapat penghargaan, patut dikagumi.
Usaha Abu Bakr melakukan dakwah Islam
itulah yang patut dikagumi. Barangkali ada juga orang yang berpandangan semacam
dia, merasa sudah cukup puas dengan mempercayainya secara diam-diam dan tak
perlu berterang-terang di depan umum agar perdagangannya selamat, berjalan
lancar. Dan barangkali Muhammad pun merasa cukup puas dengan sikap
demikian itu dan sudah boleh dipuji. Tetapi Abu Bakr dengan menyatakan
terang-terangan keislamannya itu, lalu mengajak orang kepada ajaran Allah
dan Rasulullah dan meneruskan dakwahnya untuk meyakinkan kaum Muslimin
yang mula-mula untuk mempercayai Muhammad dan mengikuti ajaran
agamanya, inilah yang belum pernah dilakukan orang;
kecuali mereka yang sudah begitu tinggi jiwanya,
yang sudah sampai pada tingkat membela kebenaran demi kebenaran. Orang
demikian ini sudah berada di atas kepentingan hidup pribadinya sehari
hari. Kita lihat, dalam membela agama, dalam berdakwah untuk agama,
segala kebesaran dan kemewahan hidup duniawinya dianggapnya kecil belaka.
Demikianlah keadaan Abu Bakr dalam persahabatannya dengan Muhammad, sejak ia
memeluk Islam, hingga Rasulullah berpulang ke sisi Allah dan Abu Bakr pun
kemudian kembali ke sisi-Nya.
Abu Bakr orang pertama yang memperkuat agama
Teringat saya tatkala Hamzah bin Abdul Muttalib dan Umar bin Khattab masuk
Islam, betapa besar pengaruh mereka itu dalam memperkuat Islam, dan bagaimana
pula Allah memperkuat Islam dengan kedua mereka itu. Keduanya terkenal garang
dan berpendirian teguh, kuat, ditakuti oleh lawan. Juga saya ingat, betapa Abu
Bakr ketika ia masuk Islam. Tidak ragu kalau saya mengatakan, bahwa dialah
orang pertama yang ditempatkan Allah untuk memperkuat agama-Nya. Orang
yang begitu damai jiwanya, tenang, sangat lemah lembut dan perkasa.
Matanya mudah berlinang begitu melihat kesedihan menimpa orang lain.
Ternyata orang ini menyimpan iman yang begitu kuat terhadap agama baru
ini, terhadap Rasul utusan Allah. Ternyata ia tak dapat ditaklukkan.
Adakah suatu kekuatan di dunia ini yang
dapat melebihi kekuatan iman! Adakah suatu kemampuan seperti kemampuan
iman dalam hidup ini! Orang yang mengira, bahwa kekuatan despotisma
dan kekuasaan punya pengaruh besar di dunia ini, ia sudah
terjerumus ke dalam jurang kesalahan. Jiwa yang begitu damai, begitu
yakin dengan keimanannya akan kebenaran, yang mengajak orang berdakwah
dengan cara yang bijaksana dan nasihat yang baik, dengan cara yang lemah
lembut, yang bersumber dari akhlak yang mulia dan perangai yang lembut,
bergaul dengan orang-orang lemah, orang-orang papa dan kaum duafa,
yang dalam penderitaannya sebagai salah satu sarana dakwahnya — jiwa
inilah yang sepantasnya mencapai sasaran sebagaimana dikehendaki, karena
ia mudah diacu dan keluar sesuai dengan pola yang ada padanya.
Itulah jejak Abu Bakr r.a. pada tahun-tahun
pertama dakwah Islam, dan terus berjalan sampai pada waktu ia
memangku jabatan selaku Khalifah, dan berlangsung terus sampai akhir
hayatnya.
Melindungi golongan lemah dengan hartanya
Dalam menjalankan dakwah itu tidak hanya berbicara saja dengan
kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam menghibur kaum duafa dan
orang-orang miskin yang disiksa dan dianiaya oleh musuhmusuh dakwah,
tidak hanya dengan kedamaian jiwanya, dengan sifatnya yang lemah lembut,
tetapi ia menyantuni mereka dengan hartanya. Digunakannya hartanya itu
untuk membela golongan lemah dan orangorang tak punya, yang telah
mendapat petunjuk Allah ke jalan yang benar, tetapi lalu dianiaya
oleh musuh-musuh kebenaran itu. Sudah cukup diketahui, bahwa ketika ia
masuk Islam, hartanya tak kurang dari empat puluh ribu dirham yang
disimpannya dari hasil perdagangan. Dan selama dalam Islam ia terus
berdagang dan mendapat laba yang cukup besar. Tetapi setelah hijrah ke
Medinah sepuluh tahun kemudian, hartanya itu hanya tinggal lima ribu
dirham. Sedang semua harta yang ada padanya dan yang disimpannya,
kemudian habis untuk kepentingan dakwah, mengajak orang ke jalan Allah
dan demi agama dan Rasul-Nya. Kekayaannya itu digunakan untuk menebus
orang-orang lemah dan budak-budak yang masuk Islam, yang oleh
majikannya disiksa dengan pelbagai cara, tak lain hanya karena mereka
masuk Islam.
Suatu hari Abu Bakr melihat Bilal yang
negro itu oleh tuannya dicampakkan ke ladang yang sedang membara oleh
panas matahari, dengan menindihkan batu di dadanya lalu dibiarkannya agar ia
mati dengan begitu, karena ia masuk Islam. Dalam keadaan semacam
itu tidak lebih Bilal hanya mengulang-ulang kata-kata: Ahad, Ahad.
Ketika itulah ia dibeli oleh Abu Bakr kemudian dibebaskan! Begitu juga
Amir bin Fuhairah oleh Abu Bakr ditebus dan ditugaskan menggembalakan
kambingnya. Tidak sedikit budak-budak itu yang disiksa, laki-laki dan
perempuan, oleh Abu Bakr dibeli lalu dibebaskan.
Peranan sebagai semenda Nabi
Tetapi Abu Bakr sendiri pun tidak bebas dari gangguan Kuraisy. Sama halnya
dengan Muhammad sendiri yang juga tidak lepas dari gangguan itu dengan
kedudukannya yang sudah demikian rupa di kalangan kaumnya serta
perlindungan Banu Hasyim kepadanya. Setiap Abu Bakr melihat Muhammad
diganggu oleh Kuraisy ia selalu siap membelanya dan mempertaruhkan
nyawanya untuk melindunginya. Ibn Hisyam menceritakan, bahwa perlakuan
yang paling jahat dilakukan Kuraisy terhadap Rasulullah ialah setelah agama dan
dewa-dewa mereka dicela. Suatu hari mereka berkumpul di Hijr, dan satu sama
lain mereka berkata: "Kalian mengatakan apa yang didengarnya dari kalian
dan apa yang kalian dengar tentang dia. Dia memperlihatkan kepadamu
apa yang tak kamu sukai lalu kamu tinggalkan dia."
Sementara mereka dalam keadaan serupa
itu tiba-tiba datang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam. Sekaligus ia
diserbu bersama-sama oleh mereka dan mengepungnya seraya berkata:
Engkau yang berkata begini dan begini? Maksudnya yang mencela
berhala-berhala dan kepercayaan mereka. Maka Rasulullah
Sallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: Ya, memang aku yang
mengatakan. Salah seorang di antara mereka langsung menarik
bajunya. Abu Bakr sambil menangis menghalanginya seraya
katanya: Kamu mau membunuh orang yang mengatakan hanya
Allah Tuhanku! Mereka kemudian bubar. Itulah yang kita lihat perbuatan
Kuraisy yang luar biasa kepadanya.
Tetapi peristiwa ini belum seberapa dibandingkan dengan
peristiwaperistiwa lain yang benar-benar memperlihatkan keteguhan iman
Abu Bakr kepada Muhammad dan risalahnya itu. Sedikit pun tak pernah
goyah. Dan iman itu jugalah yang membuat tidak
sedikit kalangan Orientalis tidak jadi melemparkan tuduhan kepada
Nabi, seperti yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka
berlebih-lebihan. Dengan ketenangan dan kedamaian hatinya yang demikian
rupa, keimanan Abu Bakr tidak akan sedemikian tinggi, kalau ia tidak
melihat segala perbuatan Rasulullah yang memang jauh dari segala yang
meragukan, terutama pada waktu Rasulullah sedang menjadi sasaran
penindasan masyarakatnya. Iman yang mengisi jiwa Abu Bakr ini jugalah
yang telah mempertahankan Islam, sementara yang lain banyak yang
meninggalkannya tatkala Rasulullah berbicara kepada mereka mengenai
peristiwa Isra.
Sikapnya mengenai kisah Isra
Muhammad berbicara kepada penduduk Mekah bahwa Allah telah memperjalankannya
malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaksa dan bahwa ia bersembahyang
di sana. Oleh orang-orang musyrik kisah itu diperolok, malah ada
sebagian yang sudah Islam pun merasa ragu. Tidak sedikit orang yang
berkata ketika itu: Soalnya sudah jelas. Perjalanan kafilah
Mekah-Syam yang terus-menerus pun memakan waktu sebulan pergi dan sebulan
pulang. Mana mungkin hanya satu malam saja Muhammad pergi pulang ke
Mekah!
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam
kemudian berbalik murtad, dan tidak sedikit pula yang masih merasa
sangsi. Mereka pergi menemui Abu Bakr, karena mereka mengetahui
keimanannya dan persahabatannya dengan Muhammad. Mereka menceritakan apa
yang telah dikatakannya kepada mereka itu mengenai Isra. Terkejut
mendengar apa yang mereka katakan itu Abu Bakr berkata:
"Kalian berdusta."
"Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang berbicara dengan
orang banyak."
"Dan kalaupun itu yang dikatakannya," kata Abu Bakr lagi,
"tentu ia mengatakan yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa
ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam atau siang,
aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan."
Abu Bakr lalu pergi ke mesjid dan
mendengarkan Nabi yang sedang melukiskan keadaan Baitulmukadas. Abu Bakr
sudah pernah mengunjungi kota itu.
Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata: "Rasulullah,
saya percaya."
Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan "as-Siddlq". (Siddiq,
orang yang selalu membenarkan, percaya, yang menerapkan kata dengan perbuatan,
yang kemudian menjadi gelar Abu Bakr (al-Mu'jam al-Wasit); orang yang
mencintai kebenaran, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Idris (Qur'an, 19. 41, 56). —
Pnj.)
Pernahkah suatu kali orang bertanya dalam hati: Sekiranya Abu Bakr juga sangsi
seperti yang lain mengenai apa yang diceritakan Rasulullah tentang Isra itu,
maka apa pula kiranya yang akan terjadi dengan agama yang baru tumbuh ini,
akibat kesangsian itu? Dapatkah orang memperkirakan berapa banyak jumlah
orang yang akan jadi murtad, dan goyahnya keyakinan dalam hati kaum Muslimin
yang lain? Pernahkah kita ingat, betapa jawaban Abu Bakr ini
memperkuat keyakinan orang banyak, dan betapa pula ketika itu ia
telah memperkuat kedudukan Islam?
Kalau dalam hati orang sudah
bertanya-tanya, sudah memperkirakan dan sudah pula ingat, niscaya ia tak akan
ragu lagi memberikan penilaian, bahwa iman yang sungguh-sungguh adalah kekuatan
yang paling besar dalam hidup kita ini, lebih besar daripada kekuatan kekuasaan
dan despotisma sekaligus. Kata-kata Abu Bakr itu sebenarnya merupakan
salah satu inayah Ilahi demi agama yang benar ini. Katakata itulah
sebenarnya yang merupakan pertolongan dan dukungan yang besar, melebihi
dukungan yang diberikan oleh kekuatan Hamzah dan Umar sebelumnya.
Ini memang suatu kenyataan apabila di dalam seja-
rah Islam Abu Bakr mempunyai tempat tersendiri sehingga Rasulullah
berkata: "Kalau ada di antara hamba Allah yang akan kuambil sebagai
khalil (teman kesayangan), maka Abu Bakr-lah khalil-ku. Tetapi
persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Allah
mempertemukan kita."
Kata-kata Abu Bakr mengenai Isra itu
menunjukkan pemahamannya yang dalam tentang wahyu dan risalah, yang tidak
dapat ditangkap oleh kebanyakan orang. Di sinilah pula Allah telah
memperlihatkan kebijakan-Nya tatkala Rasulullah memilih seorang teman
dekatnya saat ia dipilih oleh Allah menjadi Rasul-Nya untuk menyampaikan
risalah-Nya kepada umat manusia. Itulah pula bukti yang kuat, bahwa kata
yang baik seperti pohon yang baik, akarnya tertanam kukuh dan cabangnya
(menjulang) ke langit, dengan jejak yang abadi sepanjang zaman, dengan karunia
Allah. Ia tak akan dikalahkan oleh waktu, tak akan dilupakan.
Tugasnya sesudah Isra
Sesudah peristiwa Isra itu, sebagai orang yang cukup berpengalaman akan
seluk-beluk perbatasan, Abu Bakr tetap menjalankan usaha dagangnya.
Sebagian besar waktunya ia gunakan menemani Rasulullah dan untuk menjaga
orang-orang lemah yang sudah masuk Islam, melindungi mereka dari gangguan
Kuraisy di samping mengajak mereka yang mulai tergugah hatinya kepada
Islam.
Sementara Kuraisy begitu keras mengganggu Nabi dan Abu Bakr serta kaum Muslimin
yang lain, belum terlintas dalam pikiran Abu Bakr akan hijrah ke Abisinia
bersama-sama kaum Muslimin yang lain yang mau tetap bertahan dengan agama
mereka.(Ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa Abu Bakr bermaksud pergi
bersama-sama mereka yang hijrah ke Abisinia; tetapi ia bertemu dengan Rabiah
bin ad-Dugunnah yang berkata kepadanya: "Wah, jangan ikut hijrah. Engkau
penghubung tali kekeluargaan, engkau yang membenarkan peristiwa Isra, membantu
orang tak punya dan engkau yang mengatur pasang surutnya keadaan."
Ia lalu diberi perlindungan keamanan oleh Kuraisy. Abu Bakr tetap tinggal di
Mekah dan di serambi rumahnya ia membangun sebuah mesjid. Di tempat
itu ia sembahyang dan membaca Qur'an. Sekarang Kuraisy merasa khawatir,
perempuan-perempuan dan pemuda-pemuda mereka akan tergoda. Mereka mengadu
kepada Ibn ad-Dugunnah. Abu Bakr mengembalikan jaminan perlindungan itu
dan ia tetap tinggal di Mekah menghadapi segala gangguan.)
Malah ia tetap tinggal di Mekah bersama Muhammad, berjuang mati-matian
demi dakwah di jalan Allah sambil belajar tentang segala yang
diwahyukan Allah kepada Nabi untuk disiarkan kepada umat manusia. Dan
dengan segala senang hati disertai sifatnya yang lemah lembut, semua harta
pribadinya dikorbankannya demi kebaikan mereka yang sudah masuk Islam dan
demi mereka yang diharapkan mendapat petunjuk Allah bagi yang belum masuk
Islam.
Kaum Muslimin di Mekah ketika itu
memang sangat memerlukan perjuangan serupa itu, memerlukan sekali
perhatian Abu Bakr. Dalam pada itu Muhammad masih menerima wahyu dari
Allah dan ia sudah tidak lagi mengharapkan penduduk Mekah akan
menyambut ajakannya itu. Maka ia mengalihkan perhatian kepada kabilah-kabilah.
Ia menawarkan diri dan mengajak mereka kepada agama Allah. Ia telah pergi
ke Ta'if, meminta pengertian penduduk kota itu. Tetapi ia ditolak dengan
cara yang tidak wajar. Dalam hubungannya dengan Tuhan selalu ia
memikirkan risalahnya itu dan untuk berdakwah ke arah itu serta
caracaranya untuk menyukseskan dakwahnya itu.
Dalam pada itu Kuraisy juga tak pernah
tinggal diam dan tak pernah berhenti mengadakan perlawanan. Di samping
semua itu, Abu Bakr juga selalu memikirkan nasib kaum Muslimin yang
tinggal di Mekah, mengatur segala cara untuk ketenteraman dan keamanan
hidup mereka.
Usaha mencegah gangguan Kuraisy
Kalaupun buku-buku sejarah dan mereka yang menulis biografi Abu Bakr tidak
menyebutkan usahanya, apa yang disebutkan itu sudah memadai juga. Tetapi
sungguhpun begitu dalam hati saya terbayang jelas segala perhatiannya
itu, serta hubungannya yang terus-menerus dengan Hamzah, dengan Umar,
dengan Usman serta dengan pemukapemuka Muslimin yang lain untuk
melindungi golongan lemah yang sudah masuk Islam dari gangguan
Kuraisy. Bahkan saya membayangkan hubungannya dulu dengan kalangan
luar Islam, dengan mereka yang tetap berpegang pada kepercayaan
mereka, tetapi berpendapat bahwa Kuraisy tidak berhak memusuhi orang
yang tidak sejalan dengan kepercayaan mereka dalam menyembah
berhala-berhala itu.
Dalam sejarah hidup Rasulullah kita
sudah melihat, di antara mereka banyak juga yang membela kaum Muslimin dari
gangguan Kuraisy itu. Juga kita melihat mereka yang telah bertindak
membatalkan piagam pemboikotan tatkala orang-orang Kuraisy sepakat hendak
memboikot Muhammad dan sahabat-sahabatnya serta memblokade mereka selama
tiga tahun terus-menerus di celah-celah gunung di pinggiran kota Mekah,
supaya tak dapat berhubungan dan berbicara dengan orang di luar selain
pada bulan-bulan suci. Saya yakin, bahwa Abu Bakr, dalam
menggerakkan mereka yang bukan pengikut-pengikut agama
Muhammad, namun turut marah melihat tindakan-tindakan Kuraisy terhadapnya itu,
punya pengaruh besar, karena sifatnya yang lemah lembut, tutur katanya yang
ramah serta pergaulannya yang menarik. Tindakan Abu Bakr dalam melindungi
kaum Muslimin ketika agama ini baru tumbuh, itu pula yang
menyebabkan Muhammad lebih dekat kepadanya. Inilah yang telah
mempertalikan kedua orang itu dengan tali persaudaraan dalam iman,
sehingga Muhammad memilihnya sebagai teman dekatnya (khalilnya).
Setelah dengan izin Allah agama ini mendapat kemenangan dengan kekuatan
penduduk Yasrib (Medinah) sesudah kedua ikrar Aqabah, Muhammad pun
mengizinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke kota itu. Sama halnya dengan
sebelum itu, ia mengizinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke Abisinia.
Orang-orang Kuraisy tidak tahu, Muhammad ikut hijrah atau tetap tinggal
di Mekah seperti tatkala kaum Muslimin dulu hijrah ke Abisinia.
Tahukah Abu Bakr maksud Muhammad, yang oleh Kuraisy tidak diketahui? Segala
yang disebutkan mengenai ini hanyalah, bahwa Abu Bakr meminta izin kepada
Muhammad akan pergi hijrah, dan dijawab: "Jangan tergesa-gesa,
kalau-kalau Allah nanti memberikan seorang teman kepadamu." Dan
tidak lebih dari itu.
Bersiap-siap, kemudian hijrah
Di sini dimulai lagi sebuah lembaran baru, lembaran iman yang begitu kuat
kepada Allah dan kepada Rasulullah. Abu Bakr sudah mengetahui benar,
bahwa sejak kaum Muslimin hijrah ke Yasrib, pihak Kuraisy memaksa
mereka yang dapat dikembalikan ke Mekah harus dikembalikan, dipaksa
meninggalkan agama itu. Kemudian mereka disiksa, dianiaya. Juga ia
mengetahui, bahwa orang-orang musyrik itu berkumpul di DarunNadwah,
berkomplot hendak membunuh Muhammad. Kalau ia menemani Muhammad
dalam hijrahnya itu lalu Kuraisy bertindak membunuh Muhammad, tidak
bisa tidak Abu Bakr juga pasti dibunuhnya. Sungguhpun begitu, ketika ia
oleh Muhammad diminta menunda, ia pun tidak ragu. Bahkan ia merasa sangat
gembira, dan yakin benar ia bahwa kalau ia hijrah bersama Rasulullah,
Allah akan memberikan pahala dan ini suatu kebanggaan yang tiada taranya.
Kalau sampai ia mati terbunuh bersama dia, itu adalah mati syahid yang
akan mendapat surga.
Sejak itu Abu Bakr sudah menyiapkan dua
ekor unta sambil menunggu perkembangan lebih lanjut bersama kawannya itu.
Sementara sore itu ia di rumah tiba-tiba datang Muhammad seperti biasa
tiap sore. Ia memberitahukan bahwa Allah telah mengizinkan ia hijrah ke
Yasrib. Abu Bakr menyampaikan keinginannya kepada Rasulullah sekiranya dapat
menemaninya dalam hijrahnya itu; dan permintaannya itu pun dikabulkan.
Khawatir Muhammad akan melarikan diri sesudah kembali ke rumahnya,
pemuda-pemuda Kuraisy segera mengepungnya. Muhammad membisikkan kepada
Ali bin Abi Talib supaya ia mengenakan mantel Hadramautnya yang hijau dan
berbaring di tempat tidurnya. Hal itu dilakukan oleh Ali. Lewat tengah
malam, dengan tidak setahu pemudapemuda Kuraisy ia keluar pergi ke rumah
Abu Bakr. Ternyata Abu Bakr memang sedang jaga menunggunya. Kedua
orang itu kemudian keluar dari celah pintu belakang dan bertolak ke arah
selatan menuju Gua Saur. Di dalam gua itulah mereka bersembunyi. Pemuda-pemuda
Kuraisy itu segera bergegas ke setiap lembah dan gunung mencari Muhammad
untuk dibunuh. Sampai di Gua Saur salah seorang dari mereka naik ke atas
gua itu kalau-kalau dapat menemukan jejaknya. Saat itu Abu Bakr
sudah mandi keringat ketika terdengar suara mereka memanggil-manggil.
Ia menahan nafas, tidak bergerak dan hanya menyerahkan nasib kepada
Allah. Tetapi Muhammad masih tetap berzikir dan berdoa kepada Allah. Abu
Bakr makin merapatkan diri ke dekat kawannya itu, dan Muhammad berbisik
di telinganya:
"Jangan bersedih hati. Tuhan bersama kita."
Pemuda-pemuda Kuraisy itu melihat ke
sekeliling gua dan yang dilihatnya hanya laba-laba yang sedang menganyam
sarangnya di mulut gua itu. la kembali ke tempat teman-temannya dan mereka
bertanya kenapa ia tidak masuk. "Ada laba-laba di tempat itu, yang memang
sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir." Dengan perasaan dongkol
pemuda-pemuda itu pergi meninggalkan tempat tersebut. Setelah mereka
menjauh Muhammad berseru: "Alhamdulillah, Allahu Akbar!" Apa
yang disaksikan Abu Bakr itu sungguh makin menambah kekuatan
imannya.
Apa penyebab ketakutan Abu Bakr ketlka dalam gua?
Adakah rasa takut pada Abu Bakr itu sampai ia bermandi keringat dan
merapatkan diri kepada Rasulullah karena ia sangat mendambakan kehidupan
dunia, takut nasibnya ditimpa bencana? Atau karena ia tidak memikirkan
dirinya lagi tapi yang dipikirkannya hanya Rasulullah dan jika mungkin ia
akan mengorbankan diri demi Rasulullah? Bersumber dari Hasan bin
Abil-Hasan al-Basri, Ibn Hisyam menuturkan: "Ketika malam itu
Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakr memasuki gua,
Abu Bakr radiallahu 'anhu masuk lebih dulu
sebelum Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam sambil meraba-raba gua itu untuk
mengetahui kalau-kalau di tempat itu ada binatang buas atau ular.
Ia mau melindungi Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dengan
dirinya."
Begitu juga sikapnya ketika dalam
keadaan begitu genting demikian terdengar suara pemuda-pemuda Kuraisy, ia
berbisik di telinga Nabi: "Kalau saja mereka ada yang menjenguk ke bawah,
pasti mereka melihat kita." Pikirannya bukan apa yang akan
menimpa dirinya, tetapi yang dipikirkannya Rasulullah dan perkembangan
agama, yang untuk itu ia berdakwah atas perintah Allah, kalau
sampai pemuda-pemuda itu berhasil membunuhnya. Bahkan barangkali
pada saat itu tiada lain yang dipikirkannya, seperti seorang ibu yang
khawatir akan keselamatan anaknya. Ia gemetar ketakutan, ia gelisah. Tak
lagi ia dapat berpikir. Bila ada bahaya mengancam, ia akan terjun
melemparkan diri ke dalam bahaya itu, sebab ia ingin melindungi
atau mati demi anaknya itu. Ataukah Abu Bakr memang lebih gelisah
dari ibu itu, lebih menganggap enteng segala bahaya yang datang, karena
imannya kepada Allah dan kepada Rasulullah memang sudah lebih kuat dari
cintanya kepada kehidupan dunia, dari naluri seorang ibu dan dari segala
yang dapat dirasakan oleh perasaan kita dan apa yang terlintas dalam
pikiran kita?! Coba kita bayangkan, betapa iman itu menjelma di depannya,
dalam diri Rasulullah, dan dengan itu segala makna yang kudus menjelma
pula dalam bentuk kekudusan dan kerohaniannya yang agung dan cemerlang!
Saat ini saya membayangkan Abu Bakr
sedang duduk dan Rasulullah di sampingnya. Juga saya membayangkan bahaya
yang sedang mengancam kedua orang itu. Imajinasi saya
tak dapat membantu mengugkapkan segala yang terkandung dalam
lukisan hidup yang luar biasa ini, tak ada bandingannya dalam bentuk
yang bagaimanapun.
Apa artinya pengorbanan raja-raja dan para pemimpin dibandingkan
dengan pengorbanan Rasulullah
Sejarah menceritakan kepada kita kisah orang-orang yang telah
mengorbankan diri demi seorang pemimpin atau raja. Dan pada zaman kita
ini pun banyak pemimpin yang dikultuskan orang. Mereka lebih dicintai
daripada diri mereka sendiri. Tetapi keadaan Abu Bakr dalam gua jauh
berbeda. Para pakar psikologi perlu sekali membuat analisis yang cermat
tentang dia, dan yang benar-benar dapat melukiskan keadaannya itu. Apa
artinya keyakinan orang kepada seorang pemimpin dan raja dibandingkan
dengan keyakinan Abu Bakr kepada Rasulullah yang telah menjadi pilihan
Allah dan mewahyukannya dengan agama yang benar!? Dan apa pula artinya
pengorbanan orang untuk pemimpin-pemimpin dan raja-raja itu dibandingkan dengan
apa yang berkecamuk dalam pikiran Abu Bakr saat itu, yang begitu
khawatir terjadi bahaya menimpa keselamatan Rasulullah. Lebih-lebih lagi
jika tak sampai dapat menolak bahaya itu. Inilah keagungan yang
sungguh cemerlang, yang rasanya sudah tak mungkin dapat dilukiskan
lagi. Itulah sebabnya penulis-penulis biografi tak ada yang
menyinggung soal ini.
Setelah putus asa mereka mencari dua orang itu, keduanya keluar dari tempat
persembunyian dan meneruskan perjalanan. Dalam
perjalanan itu pun bahaya yang mereka hadapi tidak kurang pula dari
bahaya yang mengancam mereka selama di dalam gua.
Abu Bakr masih dapat membawa sisa laba
perdagangannya sebanyak lima ribu dirham. Setiba di Medinah dan orang
menyambut Rasulullah begitu meriah, Abu Bakr memulai hidupnya di kota
itu seperti halnya dengan kaum Muhajirin yang
lain, meskipun kedudukannya tetap di samping Rasulullah, kedudukan
sebagai khalil, sebagai asSiddlq dan sebagai menteri
penasehat.
Abu Bakr di Madinah
Abu Bakr tinggal di Sunh di pinggiran kota Medinah, pada keluarga Kharijah bin
Zaid dari Banu al-Haris dari suku Khazraj. Ketika Nabi mempersaudarakan
orang-orang Muhajirin dan Ansar Abu Bakr dipersaudarakan dengan Kharijah.
Abu Bakr kemudian disusul oleh keluarganya dan anaknya yang tinggal di
Mekah. la mengurus keperluan hidup mereka. Keluarganya mengerjakan
pertanian — seperti juga keluarga Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Talib
— di tanah orang-orang Ansar bersama-sama dengan pemiliknya.
Bolehjadi Kharijah bin Zaid ini salah seorang pemiliknya. Hubungan orang
ini lambat laun makin dekat dengan Abu Bakr. Abu Bakr kawin dengan
putrinya — Habibah — dan dari perkawinan ini kemudian lahir Umm Kulsum, yang
ditinggalkan wafat oleh Abu Bakr ketika ia sedang dalam kandungan
Habibah. Keluarga Abu Bakr tidak tinggal bersamanya di rumah Kharijah bin Zaid
di Sunh, tetapi Umm Ruman dan putrinya Aisyah serta keluarga Abu Bakr yang lain
tinggal di Medinah, di sebuah rumah berdekatan dengan rumah Abu Ayyub
al-Ansari, tempat Nabi tinggal. Ia mundarmandir ke tempat mereka, tetapi
lebih banyak di tinggal di Sunh, tempat istrinya yang baru.
Terserang demam
Tak lama tinggal di Medinah ia mendapat serangan demam, yang juga banyak
menyerang penduduk Mekah yang baru hijrah ke Medinah, disebabkan oleh
perbedaan iklim udara tempat kelahiran mereka dengan udara tempat tinggal
yang sekarang. Udara Mekah adalah udara Sahara, kering, sedang udara Medinah
lembab, karena cukup air dan pepohonan. Menurut sumber dari Aisyah
disebutkan bahwa demam yang menimpa ayahnya cukup berat, sehingga ia
mengigau. Setelah puas dengan tempat tinggal yang baru ini, dan setelah
bekerja keras sehingga keluarganya sudah tidak memerlukan lagi bantuan
Ansar, seluruh perhatiannya sekarang dicurahkan untuk membantu Rasulullah
dalam memperkuat Muslimin, tak peduli betapa beratnya pekerjaan itu
dan besarnya pengorbanan.
Kemarahan Abu Bakr
Orang yang begitu damai dan tenang ini tak pernah mengenal
marah, kecuali ketika melihat musuh-musuh dakwah yang terdiri dari orang-orang
Yahudi dan kaum Munafik itu mulai berolok-olok dan main tipu muslihat.
Rasulullah dan kaum Muslimin dengan pihak Yahudi sudah membuat
perjanjian, masing-masing menjamin kebebasan menjalankan dakwah
agamanya serta bebas melaksanakan upacara-upacara keagamaannya
masing-masing. Orang-orang Yahudi itu pada mulanya mengira bahwa mereka
mampu mengambil keuntungan dari kaum Muslimin yang datang dari Mekah
dalam menghadapi Aus dan Khazraj. Tetapi setelah ternyata tak
berhasil mereka memecah belah kaum Muhajirin dengan kaum Ansar,
mulailah mereka menjalankan tipu muslihat dan memperolok agama.
Beberapa orang Yahudi berkumpul mengerumuni salah seorang dari mereka
yang bernama Finhas. Dia adalah pendeta dan pemuka agama mereka. Ketika
Abu Bakr datang dan melihat mereka, ia berkata kepada Finhas ini:
"Finhas, takutlah engkau kepada Allah dan terimalah Islam. Engkau
tahu bukan bahwa Muhammad Rasulullah. Dia telah datang kepada kita dengan
sebenarnya sebagai utusan Allah. Kalian akan melihat itu dalam Taurat dan
Injil."
Dengan berolok dan senyum mengejek di
bibir Finhas berkata:
"Abu Bakr, bukan kita yang memerlukan Tuhan, tapi Dia yang
memerlukan kita. Bukan kita yang meminta-minta kepada-Nya, tetapi
Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak memerlukan-Nya, tapi
Dialah yang memerlukan kita. Kalau Dia kaya, tentu tidak akan minta
dipinjami harta kita, seperti yang didakwakan oleh pemimpinmu itu. Ia
melarang kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau Ia
kaya, tentu Ia tidak akan menjalankan ini."
Yang dimaksud oleh kata-kata Finhas itu firman Allah:
مَنْ ذَا الَّذِي يٌقْرِضُ اللهَ قَرْضًا
حَسَنًا فَيُضَا عِفَهُ لَهُ أَضْعَا فًا كَثِيْرَةً.
Siapakah yang hendak
meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, yang akan Ia
lipatgandakan dengan sebanyak-banyaknya." (Qur'an, 2. 245).
Setelah Abu Bakr melihat orang ini memperolok firman Allah serta
wahyu-Nya kepada Nabi, ia tak dapat menahan diri, dipukulnya muka Finhas
itu keras-keras seraya katanya:
"Demi Allah, kalau tidak karena adanya perjanjian antara kami
dengan kamu sekalian, kupukul kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan!"
Bukanlah aneh juga Abu Bakr menjadi
begitu keras, orang yang begitu tenang, damai dan rendah hati itu. Ia menjadi
sedemikian rupa padahal usianya sudah melampaui lima puluh tahun!
Kemarahannya kepada Finhas ini mengingatkan kita kepada kemarahan yang
sama lebih sepuluh tahun yang silam, yaitu ketika Persia mengalahkan
Rumawi, Persia Majusi dan Rumawi Ahli Kitab. Kaum Muslimin ketika itu
merasa sedih karena diejek kaum musyrik yang menduga bahwa pihak Rumawi
kalah karena juga Ahli Kitab seperti mereka. Ada seorang musyrik
menyinggung soal ini di depan Abu Bakr dengan begitu bersemangat
bicaranya, sehingga Abu Bakr naik pitam. Diajaknya orang itu bertaruh
dengan sepuluh ekor unta bahwa kelak Rumawi yang akan mengalahkan pihak
Majusi sebelum habis tahun itu. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakr akan
sangat marah jika sudah mengenai akidah dan keimanannya yang begitu
tulus kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sikapnya tatkala ia
berusia empat puluh, dan tetap itu juga setelah sekarang usianya lima
puluh tahun sampai kemudian ketika ia sudah menjadi Khalifah dan
memegang pimpinan kaum Muslimin.
Kekuasaan iman pada Abu Bakr
Keimanan yang tulus inilah yang menguasai Abu Bakr, menguasai segala
perasaannya, sepanjang hidupnya, sejak ia menjadi pengikut Rasulullah.
Orang akan dapat menganalisis segala peristiwa kejiwaannya dan
perbuatannya serta segala tingkah lakunya itu kalau orang mau melihatnya
dari segi moral. Sebaliknya, semua yang di luar itu, tak ada pengaruhnya
dan segala keinginan yang biasa mempengaruhi hidup manusia, dan banyak
juga kaum Muslimin ketika itu yang terpengaruh, buat dia tak ada artinya.
Yang berkuasa terhadap dirinya — hati nuraninya, pikiran dan jiwanya —
semua hanyalah demi Allah dan Rasul-Nya. Semua itu adalah iman,
iman yang sudah mencapai tingkat tertinggi, tingkat siddiqin, yang
sudah begitu baik tempatnya.
Ketika Rasulullah di Badr
Kemudian kita lihat apa yang terjadi dalam perang Badr. Pihak Mekah sudah
menyusun barisan, Nabi pun sudah pula mengatur kaum Muslimin siap
menghadapi perang. Seperti diusulkan oleh Sa'd bin Mu'az, ketika itu
pihak Muslimin membangun sebuah dangau di barisan belakang, sehingga jika
nanti kemenangan berada di pihak mereka, Rasulullah dapat kembali ke
Medinah. Abu Bakr dan Nabi tinggal dalam dangau itu sambil mengawasi jalannya
pertempuran. Dan bila pertempuran dimulai dan Muhammad melihat jumlah pihak
musuh yang begitu besar sedang anak buahnya hanya sedikit, ia berpaling ke arah
kiblat, menghadapkan diri dengan seluruh hati sanubarinya kepada Allah. Ia
mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah dijanjikan-Nya. Ia membisikkan
permohonan dalam hatinya agar Allah memberikan pertolongan, sambil
katanya:
"Allahumma ya Allah! Inilah
Kuraisy sekarang datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak
mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, pertolongan-Mu juga yang Kaujanjikan
kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini sekarang binasa tidak lagi ada
ibadah kepada-Mu."
Sementara ia masih hanyut dalam doa
kepada Tuhan sambil merentangkan tangan menghadap kiblat itu, mantelnya
terjatuh. Dalam keadaan serupa itu ia terangguk sejenak terbawa kantuk,
dan ketika itu juga tampak olehnya pertolongan Allah itu datang. Ia
sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira. Ia
keluar menemui sahabat-sahabatnya sambil berkata kepada mereka:
"Demi Dia yang memegang hidup Muhammad. Setiap seorang yang sekarang
bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang
mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam
surga."
Abu Bakr di Badr
Demikianlah keadaan Rasulullah. Tidak yakin akan kemenangan anak buahnya yang
hanya sedikit itu dalam menghadapi lawan yang iauh lebih banyak, dengan
diam-diam jiwanya mengadakan hubungan dengan Allah memohon pertolongan.
Kemudian terbuka di hadapannya tabir hari yang amat menentukan itu dalam
sejarah Islam.
Abu Bakr, ia tetap di samping Rasulullah. Dengan penuh iman ia percaya
bahwa Allah pasti akan menolong agama-Nya, dan dengan hati penuh
kepercayaan akan datangnya pertolongan itu, dengan penuh kekaguman akan
Rasulullah dalam imbauannya kepada Allah, dengan perasaan terharu kepada
Rasulullah karena kekhawatiran yang begitu besar menghadapi
nasib yang akan terjadi hari itu,
ketika itulah Rasulullah berdoa, mengimbau, bermohon dan meminta kepada
Allah akan memenuhi janji-Nya. Itulah yang diulangnya, diulang sekali
lagi, hingga mantelnya terjatuh, Itulah yang membuatnya mengimbau sambil
ia mengembalikan mantel itu ke bahu Nabi: "Rasulullah, dengan
doamu Allah akan memenuhi apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu."
Kebenaran dan kasih sayang menyatu dalam dirinya
Banyak orang yang sudah biasa dengan suatu kepercayaan sudah tak ragu lagi,
sampai-sampai ia jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada
yang sudah tidak tahan lagi melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka
menganggap bahwa iman yang sebenarnya harus fanatik, keras, dan tegar.
Sebaliknya Abu Bakr, dengan keimanannya yang begitu agung dan begitu teguh, tak
pernah ia goyah dan ragu, jauh dari sikap kasar. Sikapnya lebih lunak,
penuh pemaaf, penuh kasih bila iman itu sudah mendapat kemenangan.
Dengan begitu, dalam hatinya terpadu dua prinsip kemanusiaan yang paling
mendasari: mencintai kebenaran, dan penuh kasih sayang. Demi
kebenaran itu segalanya bukan apa-apa baginya, terutama masalah
hidup duniawi.» Apabila kebenaran itu sudah dijunjung
tinggi, maka lahir pula rasa kasih sayang, dan ia akan berpegang
teguh pada prinsip ini seperti pada yang pertama. Terasa lemah ia
menghadapi semua itu sehingga matanya basah oleh air mata yang deras
mengalir.
Sikapnya terhadap tawanan Badr
Setelah mendapat kemenangan di Badr, kaum Muslimin kembali ke Medinah
dengan membawa tawanan perang Kuraisy. Mereka ini masih ingin hidup,
ingin kembali ke Mekah, meskipun dengan tebusan yang mahal. Tetapi
mereka masih khawatir Muhammad akan bersikap keras kepada mereka
mengingat gangguan mereka terhadap sahabat-sahabatnya selama beberapa
tahun dahulu yang berada di tengah-tengah mereka. Mereka berkata satu
sama lain: "Sebaiknya kita mengutus orang kepada Abu Bakr. Ia paling
menyukai silaturahmi dengan Kuraisy, paling punya rasa belas kasihan, dan
kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia."
Mereka lalu mengirim delegasi kepada Abu Bakr.
"Abu Bakr," kata mereka kemudian, "di antara kita ada yang
masih pernah orangtua, saudara, paman atau mamak kita serta saudara
sepupu kita. Orang yang jauh dari kita pun masih kerabat kita.
Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya ia bermurah hati kepada kami
atau menerima tebusan kami."
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan
berusaha. Tetapi mereka masih khawatir Umar bin Khattab akan mempersulit urusan
mereka ini. Lalu mereka juga bicara dengan Umar seperti pcmbicaraannya dengan
Abu Bakr. Tetapi Umar menatap muka mereka dengan mata penuh curiga tanpa
memberi jawaban. Kemudian Abu Bakr sendiri yang bertindak sebagai perantara
kepada Rasulullah mewakili orang-orang Kuraisy musyrik itu. la mcngharapkan
belas kasihannya dan sikap yang lebih lunak terhadap mereka. la menolak
alasan-alasan Umar yang mau main keras terhadap mereka. Diingatkannya
pertalian kerabat antara mereka dengan Nabi. Apa yang dilakukannya
itu sebenarnya karena memang sudah bawaannya sebagai orang yang lembut
hati, dan kasih sayang baginya sama dengan keimanannya pada kebenaran dan
keadilan. Barangkali dengan mata hati nuraninya ia melihat peranan
kasih sayang itu juga yang akhirnya akan menang. Manusia akan
menuruti kodrat yang ada dalam dirinya dan dalam keyakinannya sclama
ia melihat sifat kasih sayang itu adalah peri kemanusiaan yang agung,
jauh daii segala sifat lcmah dan hawa nafsu. Yang menggerakkan hatinya
hanyalah kekuatan dan kemampuan. Atau, kekuasaan manusia terhadap
dirinya ialah kckuasaan yang dapat meredam bengisnya kekuatan, dapat
melunakkan kejamnya kekuasaan.
Arah hidupnya sesudah Badr
Sebenarnya Perang Badr itu merupakan permulaan hidup baru buat kaum
Muslimin, juga merupakan permulaan arah baru dalam hidup Abu Bakr. Kaum
Muslimin mulai mengatur siasat dalam menghadapi Kuraisy dan
kabilah-kabilah sekitarnya yang melawan mereka. Abu Bakr mulai
bekerja dengan Nabi dalam mengatur siasat itu berlipat ganda ketika masih
tinggal di Mckah dulu dalam melindungi kaum Muslimin. Pihak Muslimin
semua sudah tahu, bahwa Kuraisy tidak akan tinggal diam sebelum
mereka dapat membalas dendam kejadian di Badr itu. Juga mereka
mengetahui bahwa dakwah yang baru tumbuh ini perlu sekali mendapat
perlindungan dan perlu mempertahankan diri dari segala scrangan terhadap
mereka itu. Jadi harus ada perhitungan, hams ada pengaturan siasat. Dengan
posisinya di samping Rasulullah seperti yang sudah kita lihat, Abu Bakr tak
akan dapat bekerja tanpa adanya perhitungaji dan pengaturan serupa itu, supaya
jangan timbul kekacauan di dalam kota Medinah atas hasutan pihak Yahudi dan
golongan munafik, dan supaya jangan ada serangan pihak luar ke Madinah.
Abu Bakr dan Umar; pembantu Rasulullah
Kemenangan Muslimin di Badr itu juga sebenarnya telah mengangkat martabat
mereka. Inilah yang telah menimbulkan kedengkian di pihak lawan. Pada
pihak Yahudi timbul rasa sakit hati yang tadinya biasa-biasa saja. Dalam
hati kabilah-kabilah di sekitar Medinah yang tadinya merasa aman
kini timbul rasa khawatir. Tidak bisa lain, untuk mencegah apa yang
mungkin timbul dari mereka itu, diperlukan suatu siasat yang mantap,
suatu perhitungan yang saksama. Musyawarah yang terus-menerus antara Nabi
dengan sahabat-sahabat telah diadakan. Abu Bakr dan Umar oleh Nabi
diambil sebagai pembantu dekat (wazir) guna mengatur siasat baru, yang
sekaligus merupakan batu penguji mengingat adanya perbedaan watak
pada kedua orang itu, meskipun mereka sama-sama jujur dan ikhlas
dalam bermusyawarah. Di samping dengan mereka ia juga bermusyawarah
dengan kaum Muslimin yang lain. Musyawarah ini memberi pengaruh besar
dalam arti persatuan dan pembagian tanggung jawab demikian, sehingga
masing-masing mereka merasa turut memberikan saham.
Sebagai penangkal akibat dendam kesumat
pihak Yahudi itu kaum Muslimin sekarang mengepung Banu Qainuqa' dan
mengeluarkan mereka dari Medinah. Begitu juga akibat rasa
kekhawatiran kabilah-kabilah yang berada di sekeliling Medinah, mereka
berkumpul hendak mengadakan serangan ke dalam kota. Tetapi begitu
mendengar Muhammad keluar hendak menyongsong mereka, mereka sudah lari
ketakutan.
Dalam perang Uhud
Berita-berita demikian itu tentu sampai juga ke Mekah, dan ini tidak
menutup pikiran Kuraisy hendak membalas dendam atas kekalahan mereka di
Badr itu. Dalam upaya mereka hendak menuntut balas itu mereka akan
berhadapan dengan pihak Muslimin di Uhud. Di sinilah terjadi
pertempuran hebat. Tetapi hari itu kaum Muslimin mengalami bencana
tatkala pasukan pemanah melanggar perintah Nabi. Mereka meninggalkan
posnya, pergi memperebutkan harta rampasan perang. Saat itu Khalid bin
Walid mengambil kesempatan, Kuraisy segera mengadakan serangan dan kaum
Muslimin mengalami kekacauan. Waktu itulah Nabi terkena lemparan batu
yang dilakukan oleh kaum musyrik. Lemparan itu mengenai pipi dan
wajahnya, sehingga Kuraisy berteriakteriak mengatakan Nabi sudah meninggal.
Kalau tidak karena pahlawanpahlawan Islam ketika itu segera
mengelilinginya, dengan mengorbankan diri dan nyawa mereka, tentu Allah
waktu itu sudah akan menentukan nasib lain terhadap mereka.
Sejak itu Abu Bakr lebih sering lagi
mendampingi Nabi, baik dalam peperangan maupun ketika di dalam kota di
Medinah.
Orang masih ingat sejarah Muslimin — sampai keadaan jadi stabil
sesudah pembebasan Mekah dan masuknya Banu Saqif
di Ta'if ke dalam pangkuan Islam — penuh tantangan berupa
peristiwa-peristiwa perang, atau dalam usaha mencegah perang atau untuk
mempertahankan diri dari serangan musuh. Belum lagi peristiwa-peristiwa
kecil lainnya dalam bentuk ekspedisi-ekspedisi atau patroli. Waktu itu
orang-orang Yahudi — dipimpin oleh Huyai bin Akhtab — tak henti-hentinya
menghasut kaum Muslimin. Begitu juga Kuraisy, mereka
berusaha matimatian mau melemahkan dan menghancurkan kekuatan Islam.
Terjadinya perang Banu Nadir, Khandaq dan Banu Quraizah dan
diselang seling dengan bentrokan-bentrokan lain, semua itu akibat politik
Yahudi dan kedengkian Kuraisy.
Dalam semua peristiwa dan kegiatan itu
Abu Bakr lebih banyak mendampingi Nabi. Dialah yang paling kuat kepercayaannya
pada ajaran Nabi. Setelah Rasulullah merasa aman melihat ketahanan
Medinah, dan tiba waktunya untuk mengarahkan langkah ke arah yang baru — semoga
Allah membukakan jalannya untuk menyempurnakan agama-Nya —
maka peranan yang dipegang Abu Bakr itu telah menambah keyakinan kaum
Muslimin bahwa sesudah Rasulullah, dialah orang yang punya tempat
dalam hati mereka, orang yang sangat mereka hargai.
Sikapnya di Hudaibiyah
Enam tahun setelah hijrah kaum Muslimin ke Medinah Muhammad mengumumkan
kepada orang banyak untuk mengerjakan ibadah haji ke Mekah. Berita
perjalanan jemaah ini sampai juga kepada Kuraisy. Mereka bersumpah tidak
akan membiarkan Muhammad memasuki Mekah secara paksa. Maka Muhammad dan
para sahabat pun tinggal di Hudaibiyah, di pinggiran kota Mekah. Ia
berpegang teguh pada perdamaian dan ia menolak setiap usaha yang
akan menimbulkan bentrokan dengan Kuraisy. Diumumkannya bahwa
kedatangannya adalah akan menunaikan ibadah haji, bukan untuk berperang.
Kemudian dilakukan tukar-menukar delegasi dengan pihak Kuraisy,
yang berakhir dengan persetujuan, bahwa tahun ini ia harus pulang dan boleh
kembali lagi tahun depan.
Kaum Muslimin banyak yang marah, termasuk Umar bin Khattab, karena harus
mengalah dan harus pulang. Mereka berpendapat, isi perjanjian ini
merendahkan martabat agama mereka. Tetapi Abu Bakr langsung percaya dan yakin
akan kebijaksanaan Rasulullah. Setelah kemudian turun Surah Fath (48)
bahwa persetujuan Hudaibiyah itu adalah suatu kemenangan yang nyata, dan
Abu Bakr dalam hal ini, seperti juga dalam peristiwa-peristiwa lain,
ialah as-Siddiq, yang tulus hati, yang segera percaya.
Kekuatan Muslimin dan mengalirnya para utusan
Integritas dakwah Islam makin hari makin kuat. Kedudukan Muslimin
di Medinah juga makin kuat. Salah satu
manifestasi kekuatan mereka, mereka telah mampu mengepung pihak
Yahudi di Khaibar, Fadak dan Taima', dan mereka menyerah pada
kekuasaan Muslimin, sebagai pendahuluan untuk kemudian mereka
dikeluarkan dari tanah Arab. Di samping itu, manifestasi lain kuatnya
Muslimin waktu itu serta tanda kukuhnya dakwah Islam ialah dengan
dikirimnya surat-surat oleh Muhammad kepada raja-raja dan para amir
(penguasa) di Persia, Bizantium, Mesir, Hira, Yaman dan
negeri-negeri Arab di sekitarnya atau yang termasuk amirat-nya..
Adapun gejala yang paling menonjol tentang sempurna dan kuatnya dakwah itu
ialah bebasnya Mekah dan pengepungan Ta'if. Dengan itu cahaya agama yang
baru ini sekarang sudah bersinar ke seluruh Semenanjung, sampai ke
perbatasan kedua imperium besar yang memegang tampuk pimpinan dunia
ketika itu: Rumawi dan Persia. Dengan demikian Rasulullah dan kaum
Muslimin sudah merasa lega atas pertolongan Allah itu, meskipun tetap
harus waspada terhadap kemungkinan adanya serangan dari pihak-pihak
yang ingin memadamkan cahaya agama yang baru ini.
Bersinarnya cahaya Islam
Setelah orang-orang Arab melihat adanya kekuatan ini delegasi mereka
datang berturut-turut dari segenap Semenanjung, menyatakan keimanannya pada
agama baru ini. Bukankah pembawa dakwah ini pada mulanya hanya seorang diri?!
Sekarang ia sudah dapat mengalahkan Yahudi, Nasrani, Majusi dan kaum
musyrik. Bukankah hanya kebenaran yang akan mendapat kemenangan? Adakah
tanda yang lebih jelas bahwa memang dakwahnya itulah yang benar, yang
mutlak mendapat kemenangan atas mereka semua itu? Ia tidak bermaksud
menguasai mereka. Yang dimintanya hanyalah beriman kepada Allah, dan
berbuat segala yang baik. Inilah logika yang amat manusiawi, diakui oleh
umat manusia pada setiap zaman dan mereka beriman di mana pun mereka
berada. Ini juga logika yang diakui oleh akal pikiran manusia. Kekuatan
argumentasinya yang tak dapat dikalahkan itu sudah dibuktikan oleh
sejarah.
Abu Bakr memimpin jamaah haji
Allah telah mengizinkan kaum Muslimin melengkapi kewajiban
agamanya, dan ibadah haji itulah
kelengkapannya. Oleh karena itu dengan adanya delegasi yang
berturut-turut itu tidak memungkinkan Rasulullah meninggalkan Medinah
pergi ke Baitullah. Maka dimintanya Abu Bakr memimpin jamaah pergi
menunaikan ibadah haji. la berangkat bersama tiga ratus orang.
Mereka melaksanakan ibadah itu, melaksanakan tawaf dan sai. Dalam
musim haji inilah Ali bin Abi Talib mengumumkan — sumber lain
menyebutkan Abu Bakr yang mengumumkan — bahwa sesudah
tahun itu tak boleh lagi kaum musyrik ikut berhaji. Kemudian orang
menunda empat bulan lagi supaya setiap golongan dapat kembali ke tempat tinggal
dan negeri masing-masing. Sejak hari itu, sampai sekarang, dan sampai waktu
yang dikehendaki Allah, tak akan ada lagi orang musyrik pergi
berhaji ke Baitullah, dan tidak akan ada.
Haji Perpisahan dan keberangkatan Usamah
Tahun kesepuluh Hijri Rasulullah melaksanakan ibadah haji perpisahan. Abu Bakr
juga ikut serta. Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam berangkat
bersama semua istrinya, yang juga diikuti oleh seratus ribu orang Arab atau
lebih. Sepulang dari melaksanakan ibadah haji, Nabi tidak lama lagi
tinggal di Medinah. Ketika itu dikeluarkannya perintah supaya satu
pasukan besar disiapkan berangkat ke Syam, terdiri dari kaum Muhajirin
yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Pasukan itu sudah bermarkas
di Jurf (tidak jauh dari Medinah) tatkala tersiar berita, bahwa
Rasulullah jatuh sakit. Perjalanan itu tidak diteruskan dan karena sakit
Rasulullah bertambah keras, orang makin cemas.
Abu Bakr memimpin salat
Karena sakit bertambah berat juga maka Nabi meminta Abu Bakr memimpin
sembahyang. Disebutkan bahwa Aisyah pernah mengatakan: "Setelah
sakit Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam semakin berat
Bilal datang mengajak bersembayang: 'Suruh Abu Bakr memimpin salat!' Kataku:
Rasulullah, Abu Bakr cepat terharu dan mudah menangis. Kalau dia
menggantikanmu suaranya tak akan terdengar. Bagaimana kalau perintahkan
kepada Umar saja! Katanya: 'Suruh Abu Bakr memimpin sembahyang!' Lalu
kataku kepada Hafsah: Beritahukanlah kepadanya bahwa Abu Bakr
orang yang cepat terharu dan kalau dia
menggantikanmu suaranya tak akan terdengar. Bagaimana kalau perintahkan
kepada Umar saja! Usul itu disampaikan oleh Hafsah. Tetapi kata Nabi lagi:
Kamu seperti perempuan-perempuan yang di sekeliling Yusuf. Suruhlah Abu
Bakr memimpin sembahyang. Kemudian kata Hafsah kepada Aisyah: Usahaku
tidak lebih baik dari yang kaulakukan."
Sekarang Abu Bakr bertindak memimpin
salat sesuai dengan perintah Nabi. Suatu hari, karena Abu Bakr tidak ada di
tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umar yang
diminta mengimami salat. Suara Umar cukup lantang, sehingga ketika
mengucapkan takbir di mesjid terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah,
maka katanya:
"Mana Abu Bakr? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang
demikian."
Dengan itu orang menduga, bahwa Nabi
menghendaki Abu Bakr sebagai penggantinya kelak, karena memimpin orang-orang
salat merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Sementara masih dalam sakitnya itu suatu hari Muhammad keluar ke
tengah-tengah kaum Muslimin di mesjid, dan antara lain ia berkata:
"Seorang hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini atau di
sisi-Nya, maka ia memilih berada di sisi Allah." Kemudian diam. Abu Bakr
segera mengerti, bahwa yang dimaksud oleh Nabi dirinya. Ia tak dapat
menahan air mata dan ia menangis, seraya katanya:
"Kami akan menebus Tuan dengan jiwa kami dan anak-anak kami." Setelah
itu Muhammad minta semua pintu mesjid ditutup kecuali pintu yang ke tempat Abu
Bakr. Kemudian katanya sambil menunjuk kepada Abu Bakr: "Aku belum tahu
ada orang yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia.
Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman) maka Abu
Bakr-lah khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ini dalam iman, sampai
tiba saatnya Allah mempertemukan kita di sisi-Nya."
Pada hari ketika ajal Nabi tiba ia
keluar waktu subuh ke mesjid sambil bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadl
bin al-Abbas. Abu Bakr waktu itu sedang mengimami orang-orang
bersembahyang. Ketika kaum Muslimin melihat kehadiran Nabi, mereka
bergembira luar biasa. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka
meneruskan salat. Abu Bakr merasa bahwa mereka berlaku demikian karena
ada Rasulullah. Abu Bakr surut dari tempatnya. Tetapi Nabi memberi
isyarat agar diteruskan. Lalu Rasulullah duduk di sebelah Abu Bakr, salat
sambil duduk.
Lepas salat Nabi kembali ke rumah
Aisyah. Tetapi tak lama kemudian demamnya kambuh lagi. Ia minta dibawakan
sebuah bejana berisi air dingin. Diletakkannya tangannya ke dalam bejana
itu dan dengan begini ia mengusap air ke wajahnya. Tak lama kemudian ia
telah kembali kepada Zat Maha Tinggi, kembali ke sisi Allah.
Rasulullah telah
meninggalkan dunia kita setelah Allah menyempurnakan agama ini bagi umat
manusia, dan melengkapi kenikmatan hidup bagi mereka. Apa pulakah yang dilakukan
orang-orang Arab itu kemudian? Ia tidak meninggalkan seorang pengganti,
juga tidak membuat suatu sistem hukum negara yang terinci.
Hendaklah mereka berusaha (berijtihad) sendiri. Setiap orang yang
berijtihad akan mendapat bagian.